Minggu, 06 Maret 2011

Anugrah yang ajaib

Penumpang sebuah bis melihat dengan simpati ketika seorang wanita muda yang cantik, yang membawa tongkat putih, dengan hati-hati naik ke bis. Ia membayar pada sopir, kemudian meraba-raba mencari tempat duduk kosong yang diberitahukan oleh sopir. Ia duduk, tasnya ditaruh di pangkuannya dan tongkatnya di antara kedua kakinya.

Telah setahun Susan, 34, buta. Karena salah pengobatan ia tidak dapat melihat lagi dan masuk ke dunia yang gelap, hatinya penuh penyesalan dan rasa frustasi. Ia yang tadinya seorang wanita bebas, sekarang tak berdaya dan merasa menjadi beban bagi orang di sekitarnya. “Bagaimana semuanya ini bisa terjadi padaku?” ia mengadu, hatinya diliputi kemarahan.

Tetapi betapapun ia menangis dan berdoa, ia harus menerima kenyataan bahwa penglihatannya tak akan kembali. Ia harus bergantung pada suaminya, Mark. Mark adalah seorang perwira Angkatan Udara dan mencintai Susan dengan sepenuh hati.

Akhirnya, Susan merasa siap untuk kembali bekerja, tetapi bagaimana ia harus pergi bekerja? Ia biasa naik bis, tetapi sekarang ia takut berkeliling kota sendirian. Mark terpaksa mengantar dan menjemputnya dengan mobil setiap hari sekalipun kantor mereka berjauhan dan berada pada arah yang berbeda. Pada awalnya, ini menolong Susan dan memenuhi keinginan Mark untuk melindungi isterinya yang merasa tidak aman untuk melakukan apa saja. Namun lambat laun, Mark merasa ini merepotkan dan cukup memakan biaya. Susan harus bisa pergi sendiri. Tetapi bagaimana mengatakannya? Susan yang demikian rapuh tentu akan marah.

Dan seperti yang telah diduganya, Susan keberatan untuk pergi naik bis sendirian. “Saya buta!”, kata Susan dengan keras. “Bagaimana kamu tega membiarkan saya pergi sendiri? Saya merasa kamu tidak menghiraukan saya lagi.” Hati Mark merasa pedih oleh kata-kata Susan itu, tetapi ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia berjanji akan mengantar Susan setiap pagi dan sore naik bis sampai ia terbiasa. Dua minggu penuh, Mark, yang mengenakan seragam militer, mengantar dan menjemput Susan bekerja. Ia mengajarkannya untuk menggunakan indera lainnya, terutama pendengaran, untuk mengenali dimana dia berada dan bagaimana menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya yang baru. Setiap pagi mereka berangkat bersama dengan bis dan Mark kembali ke kantornya dengan taksi. Sekalipun cara ini lebih merepotkan dan lebih memakan biaya, tetapi hanya soal waktu hingga Susan bisa pergi dengan bis sendiri. Akhirnya Susan memutuskan bahwa ia sudah siap untuk pergi sendiri.

Senin pagi, sebelum pergi, Susan merangkul dan mengecup Mark, kawan sementaranya di bis, suaminya, dan temannya yang terbaik. Matanya dibasahi air mata menandai rasa terimakasih atas kesetiaannya, kesabarannya, dan cintanya. Untuk pertama kali mereka pergi sendiri-sendiri. Senin, Selasa, Rabu, Kamis … setiap hari semuanya berjalan lancar, dan Susan tak pernah merasa lebih baik dari itu. Ia mampu melakukan itu! Ia dapat pergi bekerja sendiri!

Pada Jum’at pagi, Susan pergi bekerja dengan bis seperti biasa. Ketika ia akan turun dari bis, sopir bis itu berkata, “Nyonya, Anda sungguh harus bersyukur.” Susan tidak yakin apakah sopir bis itu berbicara pada dirinya. Mengapa ia seorang buta yang harus bersusah payah mencari keberanian untuk menjalani hidup harus bersyukur? Dengan rasa ingin tahu ia bertanya pada sopir itu, “Mengapa aku harus bersyukur?” Sopir itu mengatakan, “Anda tahu, setiap pagi pada minggu ini, seorang yang tampan mengenakan seragam militer berdiri di ujung jalan mengawasi Anda ketika turun dari bis. Ia ingin yakin bahwa Anda dapat menyeberang dengan aman dan mengawasi Anda sampai Anda masuk ke gedung perkantoran Anda. Ia melayangkan sebuah kecupan bagi Anda dan memberikan sedikit salam militer sebelum ia pergi. Anda sungguh wanita yang berbahagia.”

Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Susan. Sekalipun ia tidak melihatnya, ia dapat merasakan kehadiran Mark. Ia merasa beruntung karena Tuhan telah menganugerahkan padanya sesuatu yang lebih daripada penglihatan

– ia tak perlu melihat untuk percaya – bahwa cinta dapat memberikan terang dimana ada kegelapan.

Begitu juga dengan Tuhan. Kita tentu tak dapat melihat wajahNya, tetapi Ia selalu hadir dimanapun untuk membantu kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar